Sabtu, 06 Maret 2010

Lurik, Dari Masa ke Masa

sumber: http://www.houseoflawe.com/id/jelajah/sejarah-lurik.html

Abstrak
"Indonesia dikaruniai keragaman suku bangsa yang masing-masing memiliki budayanya sendiri. Hal tersebut terlihat pula pada cara berpakaian yang tidak sama antara satu suku bangsa dengan suku bangsa lainnya, berbeda dalam gaya, bentuk serta bahan yang digunakan, kemudian menjadi ciri khas masing-masing daerah bersangkutan. Demikian halnya dengan masyarakat Jawa di Yogyakarta, memiliki pakaian tradisional yang khas, yaitu salah satunya lurik."


Lurik merupakan nama kain, kata lurik sendiri berasal dari bahasa Jawa, lorek yang berarti garisgaris, yang merupakan lambang kesederhanaan. Sederhana dalam penampilan maupun dalam pembuatan namun sarat dengan makna (Djoemena, Nian S., 2000). Selain berfungsi untuk menutup dan melindungi tubuh, lurik juga memiliki fungsi sebagai status simbol dan fungsi ritual keagamaan. Motif lurik yang dipakai oleh golongan bangsawan berbeda dengan yang digunakan oleh rakyat biasa, begitu pula lurik yang dipakai dalam upacara adat disesuaikan dengan waktu serta tujuannya.


Nama motifnya diperoleh dari nama flora, fauna, atau dari sesuatu benda yang dianggap sakral. Motif lurik tradisional memiliki makna yang mengandung petuah, cita-cita, serta harapan kepada pemakainya. Namun demikian saat ini pengguna lurik semakin sedikit dibandingkan beberapa puluh tahun yang lalu. Perajinnya pun dari waktu ke waktu mulai menghilang.

Lurik menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997) adalah suatu kain hasil tenunan benang yang berasal dari daerah Jawa Tengah dengan motif dasar garis-garis atau kotak-kotak dengan warna-warna suram yang pada umumnya diselingi aneka warna benang. Kata lurik berasal dari akar kata rik yang artinya garis atau parit yang dimaknai sebagai pagar atau pelindung bagi pemakainya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), lurik adalah kain tenun yang memiliki corak jalurjalur, sedangkan dalam Kamus Lengkap Bahasa Jawa(Mangunsuwito:20 02) pengertian lurik adalah corak lirik-lirik atau lorek-lorek, yang berarti garis-garis dalam bahasa Indonesia.


Dan berbagai definisi yang telah disebutkan di atas, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lurik merupakan kain yang diperoleh melalui proses penenunan dari seutas benang (lawe) yang diolah sedemikian rupa menjadi selembar kain katun. Proses yang dimaksud yaitu diawali dari pembuatan benang tukel, tahap pencelupan yaitu pencucian dan pewarnaan, pengelosan dan pemaletan, penghanian, pencucuk-an, penyetelan, dan penenunan. Motif atau corak yang dihasilkan berupa garis-garis vertikal maupun horisontal yang dijalin sedemikian rupa sesuai warna yang dikehendaki dengan berbagai variasinya.


Tidak banyak ditemui tulisan mengenai kain tenun lurik. Hanya ada beberapa saja, antara lain yang ditulis oleh Nian S.Djoemena dalam bukunya yang berjudul Lurik, Garis-garis Bertuah. Dalam buku tersebut dijelaskan mengenai proses pembuatan kain lurik beserta alat yang digunakan. Selain itu, diuraikan pula mengenai macam macam motif lurik, makna, waktu pemakaian, dan fungsinya secara garis besar terutama dalam acara ritual keagamaan dan dalam upacara perkawinan. Lurik yang diuraikan dalam buku tersebut tidak hanya terbatas pada motif lurik Yogyakarta, ada pula motif Jawa Tengah dan Tuban, ada pula motif irip lurk yang terdapat di luar Jawa maupun Juan Indonesia. Namun, buku ini belum menjelaskan lebih lanjut mengenai perkembangan lurik saat ini dan usaha pelestariannya. Kain lurik merupakan kain tenun dengan motif garisgaris pada sehelai kain. Kata Lurik berasal dari bahasa Jawa yaitu lorek yang berarti lajur atau garis (Djoemena, Nian.S: 2000). Namun pakaian atau kain dengan motif lorek tidak dapat secara langsung disebut lurik, karena lurik harus memenuhi persyaratan yang berkaitan dengan bahan tertentu dan diolah melalui proses tertentu pula, mulai dari pewarnaan, pencelupan, pengkelosarf, pemaletan, peghanian, pencucukan, penyetelan, sampai pada penenunan, hingga nantinya menjadi kain yang slap dipakai. Motif kain lurik ternyata tidak hanya berupa garis-garis membujur saja, tetapi dalam perkembangannya kemudian, motif kotak-kotak sebagai hasil kombinasi antara garis melintang dengan garis membujur dapat dikategorikan sebagai lurik.
Tidak hanya berupa garis, motif kain lurik ada juga yang berupa kotak-kotak yang merupakan perpaduan dua garis vertikal dan horisontal yang pada kain tenun yang bercorak garis atau kotak saja, akan tetapi termasuk pula kain polos dengan berbagai warna, seperti merah dan hijau atau dikenal dengan nama lurik polosan. Seperti apa yang diungkapkan Dibyo bahwa "Sifat lurik yaitu: bahannya dari katun, gambar garis, tetapi kadang bikin kotak-kotak, ataupun polos. Meskipun polos, namanya tetap lurik."

Nilai Kehidupan
Salah satu keunggulan manusia adalah bahwa ia memiliki daya kreatif untuk membuat, membentuk apa yang ada di sekelilingnya, kemudian diolah menjadi sesuatu yang bermanfaat. Daya kreativitas tersebut merupakan bagian yang penting dalam proses berkarya seni. Seni merupakan kegiatan kreatif imajinasi manusia untuk menerangkan, memahami, dan menikmati kehidupan (Haviland:1993). Dengan daya kreatif yang dimilikinya, manusia berusaha menciptakan pakaian yang dibuat dari kapas atau bahan lain, kemudian ditenun menjadi kain. Kain dijahit menjadi pakaian.


Seni memiliki tujuan praktis. Tujuan praktis ini merupakan guna atau manfaat yang diperoleh secara langsung bagi penggunanya. Tujuan praktis dari pakaian yaitu untuk melindungi tubuh dari hawa dingin, gigitan serangga, terik matahari dan berbagai gangguan lainnya. Selain itu seni memiliki fungsi sebagai norma perilaku yang teratur, meneruskan adat kebiasaan dan nilai-nilai budaya (Haviland:1993). Dalam adat berpakaian, seperti dalam penggunaan kain lurik, terdapat nilai budaya yang akan disampaikan dan untuk diteruskan kepada generasi selanjutnya.


Pada suatu masyarakat tradisional, selain memiliki fungsi guna atau manfaat, pakaian seringkali memiliki fungsi lain seperti fungsi status simbol, maupun ritual keagamaan, pada motif- motif tertentu terdapat kandungan nilai, harapan, dan sebagainya. Orang yang memiliki kedudukan sosial tinggi berbeda pakaiannya dengan orang yang status sosialnya lebih rendah, pakaian yang dikenakan seorang bangsawan berbeda dengan rakyat biasa, entah itu berbeda model maupun motifnya. Begitu pula pakaian yang dipakai untuk upacara tertentu berbeda dengan yang dipakai pada hari biasa.


Sesuai dengan keanekaragaman umat manusia, pakaian yang digunakan juga bermacammacam dan bervariasi. Pada masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai tradisinya seperti yang terdapat pada kelompok-kelompok suku bangsa di Indonesia, pakaian yang digunakan menunjukkan identitas dari suatu suku bangsa. Dalam hal ini pakaian bukanlah semata-mata sebagai suatu benda materi yang hanya dipakai tanpa memiliki arti apapun. Kain lurik misalnya, merupakan suatu simbol karena ia memiliki makna. Simbol merupakan tanda yang dapat ditafsirkan (Geertz:1992,17) atau diekplanasikan. Makna-makna tersebut merupakan sesuatu yang tidak tampak tetapi dapat dilihat melalui penafsiranpenafsiran, pemahaman-pemahaman yang kemudian ditata sedemikian rupa. Simbol merupakan segala sesuatu (benda, peristiwa, tindakan, ucapan, dan sebagainya) yang telah ditempeli arti tertentu. Simbol bukan milik individu, namun milik suatu kelompok masyarakat. Kelompok masyarakat tersebut terdiri dari sekumpulan orang yang memiliki sistem pengetahuan, gagasan, ide, adat kebiasaan serta norma perilaku yang sama, yang diungkapkan dalam tata cara kehidupan manusia yang terwujud dalam benda-benda budaya.
Kain tenun lurik merupakan salah satu benda budaya karena dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu. Benda ini merupakan wujud fisik dari ide, nilai, maupun norma yang mengatur dan memberi arah bagi masyarakat pada suatu kebudayaan tertentu. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Koentjaraningrat (2000) bahwa terdapat tiga wujud kebudayaan, yaitu norma sebagai tata kelakuan yang mengatur dan memberi arah, aktivitas yang berpola, dan benda hasil karya manusia sebagai wujud fisiknya.


Manusia tidak dapat terlepas dari simbol, karena manusia adalah binatang yang terjerat dalam jaringan-jaringan makna yang ditenunnya sendiri (Geertz:1992). Di setiap waktu dan disegala tempat, manusia selalu berhubungan dengan simbol atau lambang karena is berpikir, berperasaan, dan bersikap dengan ungkapanungkapan simbolis (Herusatoto: 1987). Simbol atau lambang ini merupakan hal yang penting bagi masyarakat pendukungnya. Menurut Ernst Cassirer (1944) bahwa manusia tidak dapat melihat„ menemukan, dan mengenai dunia secara langsung tetapi melalui berbagai simbol. Simbol yang terwujud dalam benda-benda budaya, dalam hal ini adalah kain tenun lurik merupakan sesuatu yang penting bagi masyarakat pendukungnya. Melalui kain lurik ini terdapat pesan, nasihat dan panduan hidup yang disampaikan dan diharapkan nantinya dapat terus diteruskan ke generasi selanjutnya. Terdapat beberapa hal mengenai simbol seperti ditulis oleh C.A Van Peursen (1976), bahwa simbol atau lambang memperlihatkan kaidah dalam perbuatan manusia. Kaidah itu berhubungan dengan seluruh pola kehidupan, perbuatan, dan harapan manusia. Simbol muncul ketika manusia sedang belajar dan untuk menampung hasil belajarnya manusia menggunakan media bahasa, baik bahasa lisan, tulisan, gerak, maupun visual. Pengetahuan yang diperoleh manusia dari hasil belajar semakin lama semakin bertambah. Untuk mempermudah penyerapan pengtahuan yang semakin banyak tersebut, bahasa kemudain dialihkan menjadi lambang, simbol abstrak. Pengertian bahasa disini menjadi meluas meliputi berbagai bentuk lambang berupa tarian, gambar, kata, maupun isyarat. Lambang yang diungkapkan melalui media bahasa ini digunakan dalam rangka meneruskan, mewariskan ajaran kepada generasi setelahnya. Dari simbol yang terdapat pada kain lurik ini dapat ditemukan harapan, ungkapan, pelajaran positif yang dapat diambil dan dijadikan pelajaran bagi generasi selanjutnya dalam menentukan langkah menuju kehidupan yang lebih baik. Meskipun saat ini tidak banyak lagi yang mengetahui apa makna dibalik motif lurik, namun ada sebagian orang yang berusaha bertahan untuk membuat dan mengenakannya baik dalam acara-acara tertentu, maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Sejarah Lurik
Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997) disebutkan bahwa lurik diperkirakan berasal dari daerah pedesaan di Jawa, tetapi kemudian berkembang, tidak hanya menjadi milik rakyat, tetapi juga dipakai di lingkungan keraton. Pada mulanya, lurik dibuat dalam bentuk sehelai selendang yang berfungsi sebagai kemben (penutup dada bagi wanita) dan sebagai alat untuk menggendong sesuatu dengan cara mengikatkannya pada tubuh, sehingga kemudian lahirlah sebutan lurik gendong. Dan beberapa situs peninggalan sejarah, dapat diketahui bahwa pada masa Kerajaan Majapahit, lurik sudah dikenal sebagai karya tenun waktu itu. Bahwa lurik sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat lampau, dapat dilihat dari cerita Wayang Beber yang menggambarkan seorang ksatria melamar seorang putri Raja dengan alat tenun gendong sebagai mas kawinnya. Keberadaan tenun lurik ini tampak pula dalam salah satu relief Candi Borobudur yang menggambarkan orang yang sedang menenun dengan alat tenun gendong. Selain itu adanya temuan lain, yaitu prasasti Raja Erlangga dari Jawa Timur pada tahun 1033 menyebut kain Tuluh Watu sebagai salah satu nama kain lurik (Djoemena, Nian.S:2000).


Pada awalnya, motif lurik masih sangat sederhana, dibuat dalam warna yang terbatas, yaitu hitam, putih atau kombinasal antarkeduanya. Pada jaman dahulu proses pembuatan tenun lurik ini dimulai dari menyiapkan bahan yaitu benang (lawe). Benang ini berasal dari tumbuhan perdu dengan warna dominan hitam dan putih. Selanjutnya, benang tadi diberi warna dengan menggunakan pewarna tradisional, yaitu yang bernama Tarum) dan dari kulit batang mahoni. Hasil rendaman daun pohon Tom menghasilkan warna nila, biru tua, dan hitam, sedangkan kulit batang mahoni menghasilkan warna coklat.


Sebelum ditenun, benang dicuci berkali-kali, kemudian dipukul-pukul hingga lunak (dikemplong), setelah itu dijemur, lalu dibaluri nasi dengan menggunakan kuas yang terbuat dari sabut kelapa. Setelah bahan atau benang ini kaku, kemudian diberi warna. Setelah itu dijemur kembali dan benang siap untuk ditenun. Dahulu, alat yang digunakan untuk menenun dikenal dua macam alat, yaitu alat tenun bendho dan alat tenun gendong. Adapun alat tenun bendho terbyat dari bambu atau batang kayu, biasanya digunakan untuk membuat stagen. Stagen yaitu ikat pinggang dari tenunan benang yang sangat panjang dan digunakan untuk pengikat kain (jarik) oleh para wanita Jawa. Alat tenun ini digunakan dengan posisi berdiri. Disebut sebagai alat tenun bendho karena alat yang digunakan untuk merapatkan benang pakan berbentuk bendho (golok), sedangkan alat tenun gendong digunakan untuk membuat bahan pakaian, selendang lebar, maupun jarik (kain panjang). Disebut demikian karena salah satu bagiannya diletakkan di belakang pinggang, sehingga tampak seperti digendong. Dalam proses pembuatan kainnya, penenun dalam posisi duduk memangku alat tenun tersebut.
Dahulu, kain lurik dipakai hampir oleh semua orang, sebagai busana sehari-hari. Untuk wanita dibuat kebaya, atau tapih/nyamping/jarik (kain untuk bawahan). Untuk pria, sebagai bahan baju pria, di Solo disebut dengan beskap, sedangkan di Yogyakarta dinamakan dengan surjan. Selain itu, lurik juga dibuat selendang (jarik gendong) yang biasanya dipakai oleh bakul (pedagang) di pasar untuk menggendong tenggok (wadah yang terbuat dari anyaman bambu), terutama di daerah Solo dan Klaten Jawa Tengah. Selain dibuat untuk bahan pakaian ataupun selendang, yang lebih penting lagi bahwa kain lurik ini dahulu digunakan dalam upacara yang berkaitan dengan kepercayaan, misalnya labuhan ataupun upacara adat lain seperti ruwatan, siraman, mitoni, dan sebagainya.

Beberapa Macam Corak Lurik
Meskipun motif lurik ini hanya berupa garisgaris, namun variasinya sangat banyak. Terdapat banyak ragam motif kain lurik tradisional, seperti yang ditulis oleh Nian S.Djoemena (2000) mengenai nama-nama corak, yaitu antara lain: corak klenting kuning, sodo sakler, lasem, tuluh watu, lompong keli, kinanti, kembang telo, kembang mindi, melati secontong, ketan ireng, ketan salak, dom ndlesep, loro-pat, kembang bayam, jaran dawuk, kijing miring, kunang sekebon, dan sebagainya. Dalam Ensiklopedi Indonesia (1997) di-


sebutkan pula beberapa motif seperti ketan ireng, gadung mlati, tumenggungan, dan bribil. Dalam perkembangannya muncul motif- motif lurik baru yaitu: yuyu sekandang, sulur ringin, lintang kumelap, polos abang, polos putih, dan masih banyak lagi. Motif yang paling mutahir adalah motif hujan gerimis, tenun ikat, dam mimi, dan galer.


Dahulu macam ragam corak lurik sangat banyak, tetapi sekarang banyak yang sudah terlupakan. Tidak semua orang termasuk para perajin lurik yang ada sekarang ini tahu dan ingat motif apa saja yang pernah ada, seperti yang dialami oleh Pak Dibyo. Saat ini perusahaan tenun lurik seperti milik Bapak Dibyo Sumarto, yaitu perusahaan tenun lurik Kurnia tidak membuat motif lurik seperti yang disebutkan di atas, karena peminatnya tidak ada lagi. Motif-motif lurik yang sekarang dibuat lebih bervariasi, disesuaikan dengan warna-warna yang sedang disukai atau sedang trend. Jadi, motif atau corak lurik yang ia buat cenderung selalu berubah dan makin berkembang. Beberapa motif disesuaikan dengan yang dikehendaki oleh para pembeli. Begitu pula dengan perusahaan tenun lurik yang dikelola oleh Ibu Nur. Beliau bahkan tidak banyak membuat motif tenun jika tidak ada pesanan. Beberapa kain lurik ia buat saat ini lebih banyak untuk seragam sekolah dan selendang. Begitu pula dengan perusahaan tenun Kurnia yang lebih banyak mendapatkan pesanan dari sekolah-sekolah yang membutuhkan seragam. Selain itu pembelinya kebanyakan dari siswa sekolah yang sedang praktek tata busana.


Namun demikian, perusahaan tenun ini masih membuat beberapa kain lurik tradisional yang masih dipakai dari jaman dulu hingga sekarang, yaitu yang dipakai di lingkungan keraton seperti yang dikenakan oleh para abdi dalem dan para prajuritnya.
Motif yang dipakai para abdi dalem kerajaan tersebut dinamakan corak telu-pat atau tiga empat dalam bahasa Indonesia. Pakaian dengan motif ini dinamakan baju peranakan. Baju ini dikenakan oleh mereka ketika sowan atau caos (menghadap raja).
lain kluwung, gedog madu, sulur ringin, atau tuluh watu. Selain itu, ada pula motif lurik lain yang juga hanya digunakan oleh orang-orang tertentu pada waktu tertentu pula, yaitu yang dikenakan oleh abdi dalem dan para punggawa keraton. Ketika menghadiri pisowanan (mengahadap raja), para abdi dalem memakai baju peranakan dengan motif telu pat, sedangkan para prajurit keraton masingmasing juga memakai motif lurik yang telah ditentukan. Prajurit Jogokaryan memakai motif Jogokaryo, prajurit Mantrijeron memakai motif mantrijero, begitu pula dengan prajurit Patangpuluhan memakai motif patangpuluh. Seperti yang diutarakan oleh Pak Dibyo bahwa "Motif keraton memang memiliki corak tersendiri. Ada yang me-namakannya lurik tiga empat, untuk para abdi dalem. Nama motifnya yaitu tiga empat, untuk per-anakan...prajurit keraton antara lain mantrijero, jogo-karyo, patangpuluh. Motifnya sendiri-sendiri. Motif untuk abdi dalem untuk caos atau sowan yaitu motif tiga empat." Motif lurik untuk prajurit kraton lainnya adalah motif ketanggung yaitu yang dikenakan oleh prajurit Ketanggungan. Mengenai motif yang tidak boleh dipakai oleh setiap orang dikatakan oleh Ibu Nur, "Ya seperti yang dipakai oleh para abdi dalem, peranakan, hanya dipakai oleh kalangan keraton. Tidak bisa dipakai umum."


Namun saat ini, menurut apa yang dituturkan oleh Pak Dibyo, bahwa para pembeli bebas memilih motif mana yang dikehendaki. Pembeli boleh memakai kain lurik dengan berbagai macam corak, entah itu yang semestinya di pakai untuk sowan atau caos, ataupun yang digunakan untuk prajurit keraton. Untuk saat ini, biasanya motif lurik yang tidak boleh dikenakan atau dijual untuk umum yaitu yang dipakai untuk seragam sekolah, karena motif tersebut sudah merupakan identitas atau ciri khas sekolah yang bersangkutan.

Lurik Masa Kini
Tidak seperti beberapa puluh tahun yang lalu, saat ini tidak banyak masyarakat yang menaruh minat pada lurik terutama untuk dikenakan sebagai busana sehari-hari. Hal ini tampak pada surutnya jumlah pesanan di beberapa perusahaan tenun lurik yang ada di Yogyakarta. Bahkan di beberapa tempat, perusahaan tenun lurik tradisional banyak yang gulung tikar. Seperti yang terjadi di daerah Krapyak Wetan. Dahulu, di sekitar wilayah tersebut banyak rumah atau tempat produksi tenun lurik, namun sekarang yang tertinggal hanya satu yaitu perusahaan tenun lurik Kurnia yang dimiliki Bapak Dibyo. Menurut cerita masyarakat setempat, di dusun Mlangi, Kabupaten Sleman pernah berdiri perusahaan tenun lurik tradisional, tetapi saat ini sudah tidak ada lagi. Beberapa tempat lain yang diperkirakan masih terdapat tempat pembuatan tenun lurik, yaitu di dusun Nggamplong, Godean, Sleman, atau di beberapa tempat di Kabupaten Kulonprogo.


Dahulu di sana banyak ditemui perusahaan tenun lurik, namun sekarang jika masih ada jumlahnya sangat sedikit. Menurut beberapa orang, berbagai macam motif yang dulu pernah dibuat, sekarang sudah tidak dibuat lagi karena peminatnya pun sudah tidak ada. Banyak perajin di perusahaan tenun tradisional yang sudah berusia lanjut, tetapi tidak ada regenerasi perajin untuk meneruskan keahliannya tersebut. Saat ini orang lebih memilih pekerjaan lain dari pada menenun. Dahulu, ketika seorang perajin menenun, ketika ada waktu senggang ia minta anaknya untuk ikut menenun. Si anak diberi pelajaran sedikit demi sedikit, sehingga lama kelamaan ia bisa meneruskan pekerjaan orang tuanya. Tetapi saat ini hal ini sudah sulit dilakukan. Generasi muda tidak lagi mau menenun, lebih memilih pekerjaan lainnya.
Kondisi ini mendorong seorang mendorong beberapa desainer seperti Ninik Darmawan, kelompok Lawe, PPPPTK Seni dan Budaya untuk mengembangkan produk tekstil dengan bahan dasar lurik untuk diangkat kembali menjadi produkproduk modern, yang tidak hanya terbatas untuk pakian saja, tetapi lurik dijadikan sebagai bahan tas, dompet, map, dan lain sebagainya. Untuk busana desainer Ninik Darmawan telah mengembangkan beberapa fashion seperti gaun panjang, kemeja pria, rok, jaket, dan sebagainya. Beberapa pakaian merupakan gabungan motif lurik dengan kain batik. Ninik mengembangkan kain tenun lurik tersebut karena kain yang bercorak garis-garis ini memiliki nilai kesederhanaan. Kain yang tebuat dari bahan katun tersebut sebenarnya juga sangat cocok dengan iklim di Indonesia. Tetapi memang kesan bahwa lurik merupakan pakaian rakyat cukup kental. Apa yang hendak disampaikannya melalui setiap desainnya yaitu bahwa motif lurik ini sebenarnya dapat dikembangkan dan dapat dikenakan di berbagai tempat dan waktu. Menurutnya dengan sentuhan desain, kain tersebut dapat diolah, dikembangkan, dijadikan busana masa kini, tanpa merubah arti atau makna yang terkandung di dalamnya.


Produk-produk tekstil dari bahan lurik dengan desain baru yang indah, tidak kalah menariknya apabila dibandingkan dengan busana-busana dari bahan batik atau bahan lainnya. Ternyata lurik menyimpan kekuatan yang begitu dahsyat, sebagai bagian dari kehidupan masa kini. Apa yang dilakukan Ninik Darmawan, Lawe, dan PPPPTK Seni dan Budaya sebagai suatu bentuk transformasi budaya, yang mengangkat budaya lama Indonesia menjadi suatu budaya baru dengan tidak meninggalkan kekayaan yang telah diwariskan oleh generasi sebelumnya.
Tradisi bukanlah suatu barang yang mati, tetapi ia berkembang dan menjelma menjadi ujud baru mengikuti perubahan jaman. Tradisi melayani kebutuhan kehidupan manusia, sehingga tradisi harus sesuai dengan jiwa jamannya, tradisi yang tidak berubah akan menghambat perkembangan dan akan menjadi nilai atau produk yang basi. Dengan demikian seni tradisi seperti lurik harus dapat melayani kehidupan manusia masa kini, sehingga lurik akan lebih bermakna dan bermanfaat bagi kehidupan dari masa ke masa.


Tulisan ini semoga memberi inspirasi kepada desainer di berbagai tempat di Indonesia, untuk mengangkat tenun daerah menjadi bagian kehidupan modern, mengingat Indonesia begitu kaya dengan berbagai macam tekstil khususnya tenun, kita akan temukan berbagai ragam tenun yangt indah sejak tanah Papua sampai dengan Nangroe Aceh Darussalam. Semoga kekayaan tersebut tidak menjadi kesepian dan mati, tetapi menjadi enerji baru yang memberi kesegaraan sebagai sebuah bangsa yang kaya dan besar..***

Artikel diambil dari “Lurik, Dari Masa ke Masa”
Majalah ARTISTA No. 1 & 2 Vol. 10 Thn. 2007
Ditulis oleh : Feti Anggraeni, S.Ant,
Instruktur, pemerhati, dan pengkaji tekstil
Technoart Park PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta